JAGUARPOST.COM || PEKANBARU — Suasana haru menyelimuti ruang Komisi I DPRD Kota Pekanbaru pada Senin (14/7/2025) siang, saat sekelompok orangtua dari Kecamatan Rumbai menyampaikan keluh kesah mereka. Enam anak mereka, yang masih berusia muda, telah ditahan selama hampir tiga bulan di Polresta Pekanbaru atas tuduhan pengeroyokan dan pengrusakan di lingkungan Polsek Bukitraya.
Rombongan warga diterima langsung oleh Ketua Komisi I Robin Eduar SE, MH, didampingi Wakil Ketua Irman Sasrianto SH, Sekretaris Aidil Amri S.Sos, serta anggota lainnya: Firmansyah LC, MH, Victor Parulian SE, dan Irman Sasrianto.
Para orangtua itu datang dengan harapan dan kegelisahan, berharap wakil rakyat dapat memberi keadilan bagi anak-anak mereka yang menurut mereka tak bersalah.
“Anak kami tidak bersalah. Tapi empat hari setelah kejadian, mereka ditangkap. Pak polisi datang kepung komplek perumahan,” kata R, orangtua dari salah satu anak yang ditahan, dengan suara bergetar.
Menurut penuturan mereka, anak-anak itu ditangkap pada 25 April 2025 malam oleh sekitar 30 aparat dari Polda Riau dan Polresta Pekanbaru. Penangkapan dilakukan tanpa surat tugas dan tanpa surat izin lingkungan RT/RW, yang umumnya menjadi syarat administratif penjemputan warga.
Salah seorang anak bahkan harus diantar sendiri oleh kedua orangtuanya ke Polresta karena tidak berada di rumah saat aparat mendatangi lokasi. “Kami kooperatif, anak-anak kami dibawa tanpa kami dampingi. Tapi besoknya mereka sudah jadi tersangka, katanya sudah BAP, tanpa pendampingan,” ujar salah satu orangtua.
Setelah sempat dirilis ke publik pada 29 April 2025 sebagai tersangka kasus debt collector, pengeroyokan, dan pengrusakan, para orangtua mengaku belum melihat bukti kuat keterlibatan anak-anak mereka. “Bukti seperti batu, kayu, helm ditunjukkan. Tapi sidik jari anak-anak kami tidak ditemukan,” tegas mereka.
Mereka bahkan menyebut telah dua kali mengajukan penangguhan penahanan melalui penasihat hukum, namun selalu ditolak.
Perjalanan Proses Hukum yang Janggal
Proses hukum yang dijalani anak-anak itu juga dinilai janggal oleh pihak keluarga. Surat penahanan pertama keluar pada 26 April 2025 dan berlaku hingga 12 Mei 2025. Dilanjutkan dengan permintaan perpanjangan dari Kejaksaan Negeri pada 2 Mei 2025, berlaku dari 16 Mei hingga 24 Juni 2025.
Namun yang paling mengejutkan, pada 16 Juni 2025, terbit dua surat dari Pengadilan Negeri Pekanbaru di hari yang sama dengan isi serupa, tetapi memuat pasal yang berbeda.
“Kenapa dalam satu hari bisa keluar dua surat penahanan, isinya sama tapi pasalnya berbeda? Ini yang tidak kami mengerti,” ujar salah satu warga dalam pertemuan.
Harapan Terakhir di Gedung Wakil Rakyat
Tak kuat menahan beban batin dan ketidakjelasan proses hukum, para orangtua berharap Komisi I DPRD Pekanbaru dapat menjadi jembatan harapan.
“Kami orang kecil, tidak tahu lagi harus ke mana mencari keadilan. Anak kami jadi korban. Tolong kami, Pak Dewan,” pinta salah satu orangtua.
Ketua Komisi I, Robin Eduar, dengan empati menyatakan bahwa seluruh keluhan telah dicatat dan akan menjadi bahan tindak lanjut. Namun ia juga menegaskan, DPRD tidak memiliki kewenangan untuk mengintervensi proses hukum yang sedang berlangsung.
“Aduan warga pasti kami terima. Tapi kami juga harus menghormati proses hukum yang kini sedang berjalan di kepolisian,” ujar politisi PDI-P tersebut.
Meski demikian, ia menjanjikan akan memantau perkembangan kasus dan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait agar keadilan dapat ditegakkan seadil-adilnya.(**Rls)
Komentar